Minggu, 03 Mei 2015

Hi... It's you sometimes ago....
U wrote this letter while u can't feel anything about what happened to u.
I just wanna reminds you, that today is u kind of realise that u are really selfish.
U said u want to wrote a letter to your self. so i put that letter here so you can read it everytime u want. Because if u really put that letter in a baloon, u will not be able to read it anymore.


" semuanya memang diluar keinginan. kemungkinan alasan tidak bisa menerima adalah karena semua diluar bayangan. semua yang terlontar menjadi alasan bodoh (jika bisa diistilahkan demikian ) demi sebuah pengharapan semua akan seperti yang dinginkan. meskipun telah menyadarinya, hati masih saja belum terbuka. bagaimana sebaiknya?? semoga mempunyai kesempatan untuk menikmati sesuatu sesuai keinginan. "




i hope u can live in peace now....

Jumat, 20 September 2013

Asal Usul Danau Maninjau





Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung
Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat

Siti Nurbaya




Siti Nurbaya. Legenda cerita rakyat yang mengisahkan tentang jalinan kasih yang tak sampai antara sepasang insan yang berujung pada kawin paksa. Sang pria bernama Syamsul Bahri,
selain berwajah tampan juga berasal dari keturunan orang terpandang. Bapaknya adalah seorang Penghulu yang terpandang, yakni Sutan Mahmud. Si gadis bernama Siti Nurbaya, berparas jelita, berambut panjang bak mayang terurai serta santun budinya anak dari Baginda Sulaiman. Jalinan cinta Siti dan Syamsul sangat direstui oleh kedua orang tuanya yang masih punya hubungan kekerabatan. Sutan Mahmud ayah Syamsul Bahri adalah Mamak Siti Nurbaya.
Setelah menamatkan sekolah tingkat atas, Syamsul Bahri melanjutkan sekolah calon Dokter di pulau Jawa untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Tak terbayangkan betapa sedihnya Syamsul Bahri yang harus meninggalkan sang kekasih pujaan hati. Air mata Siti Nurbaya berlinang membasahi pipi disaat melepas kekasih hatinya di pelabuhan Teluk Bayur, dan berharap cepat kembali. Saling berkirim surat cinta adalah pengobat rindu mereka berdua.
Tahun berlalu musim berganti, musibah datang mendera keluarga Siti Nurbaya, usaha dagang ayahnya mengalami kebangkrutan, hingga jatuh miskin dan Baginda Sulaiman akhirnya jatuh sakit. Beliau akhirnya meminjam uang kepada seorang rentenir yang berbadan kurus dan suka beristri banyak bernama Datuk Maringgih. Hutang Baginda Sulaiman akhirnya bertumpuk dan berbunga pada Datuk Maringgih.
Suatu hari Datuk Maringgih pergi kerumah Baginda Sulaiman yang sedang sakit untuk menagih piutangnya. Disanalah Datuk Maringgih terpesona melihat kecantikan Siti Nurbaya. Datuk Maringgih memaksa Baginda Sulaiman untuk menjadikan Siti Nurbaya sebagai istri mudanya kalau ayah Siti Nurbaya tak sanggup untuk membayar hutangnya.
Siti Nurbaya menolaknya, karena dia sudah punya kekasih yakni Syamsul Bahri. Tapi Siti Nurbaya tak berdaya dan akhirnya dipersunting oleh Datuk Maringgih yang berumur sebaya dengan ayahnya. Kabar tersebut sampai ke telinga Syamsul Bahri, hatinya sangat sedih dan mencoba bunuh diri.
Suatu hari Syamsul Bahri pulang ke Padang dan bertemu degan Siti Nurbaya. Datuk Maringih naik pitam dan meyebarkan fitnah yang menyudutkan Syamsul Bahri. Akhirnya ia di usir oleh ayahnya Sutan Mahmud. Syamsul Bahri kembali ke Jakarta, diam-diam ia menyamar jadi tentara kompeni Belanda, dengan nama samaran Letnan Mas.
Datuk Maringgih menjadi benci kepada Siti Nurbaya, puncaknya ia melampiaskan dendamnya dengan memberikan Lemang beracun kepada pesuruhnya untuk diberikan kepada Siti Nurbaya. Siti Nurbaya menemui ajalnya setelah memakan lemang beracun kiriman Datuk Maringgih.
Pada saat tragedi Balesting (Saudagar-saudagar pribumi yang tidak mau membayar upeti/pajak dibawah pimpinan Datuk Mariggih), dikirimlah Letnan Mas oleh Kompeni ke Padang untuk menumpas para pembangkang balesting.
Terjadilah peperangan satu lawan satu antara Letnan Mas dengan Datuk Maringgih. Akhir cerita Letnan Mas yang tak lain adalah Syamsul Bahri tewas di pedang diujung pedang, bersamaan dengan Datuk Maringgih juga roboh terkena tembakan Letnan Mas. 

Kamis, 19 September 2013

Teddy Bear



The teddy bear is a soft toy in the form of a bear. Developed apparently simultaneously by toymakers Morris Michtom in the US and Richard Steiff in Germany in the early years of the 20th century, and named after President Theodore "T.R." Roosevelt, Jr., the teddy bear became an iconic children's toy, celebrated in story, song and film.[1] Since the creation of the first teddy bears which sought to imitate the form of real bear cubs, "teddies" have greatly varied in form, style and material. They have become collector's items, with older and rarer "teddies" appearing at public auctions.[2] Teddy bears are among the most popular gifts for children and are often given to adults to signify love, congratulations or sympathy.

History

The name Teddy Bear comes from former United States President Theodore Roosevelt, who was commonly known as "Teddy" (though he loathed being referred to as such[3]). The name originated from an incident on a bear hunting trip in Mississippi in November 1902, to which Roosevelt was invited by Mississippi Governor Andrew H. Longino. There were several other hunters competing, and most of them had already killed an animal. A suite of Roosevelt's attendants, led by Holt Collier,[4] cornered, clubbed, and tied an American Black Bear to a willow tree after a long exhausting chase with hounds. They called Roosevelt to the site and suggested that he should shoot it. He refused to shoot the bear himself, deeming this unsportsmanlike, but instructed that the bear be killed to put it out of its misery,[5][6] and it became the topic of a political cartoon by Clifford Berryman in The Washington Post on November 16, 1902.[7] While the initial cartoon of an adult black bear lassoed by a handler and a disgusted Roosevelt had symbolic overtones, later issues of that and other Berryman cartoons made the bear smaller and cuter.[8]
Morris Michtom saw the drawing of Roosevelt and was inspired to create a new toy. He created a little stuffed bear cub and put it in his shop window with a sign that read "Teddy's bear," after sending a bear to Roosevelt and receiving permission to use his name. The toys were an immediate success and Michtom founded the Ideal Novelty and Toy Co.[6]
At the same time in Germany, the Steiff firm, unaware of Michtom's bear, produced a stuffed bear from Richard Steiff's designs. Steiff exhibited the toy at the Leipzig Toy Fair in March 1903, where it was seen by Hermann Berg, a buyer for George Borgfeldt & Company in New York. He ordered 3000 to be sent to the United States.[9] Although Steiff's records show that the bears were produced, they are not recorded as arriving in America, and no example of the type, "55 PB", has ever been seen, leading to the story that the bears were shipwrecked. However, the story is disputed - Gunther Pfieffer notes that it was only recorded in 1953 and says it is more likely that the 55 PB was not sufficiently durable to survive until the present day.[10] Although Steiff and Michtom were both making teddy bears at around the same time, neither would have known of the other's creation due to poor transatlantic communication.[7]
By 1906 manufacturers other than Michtom and Steiff had joined in and the craze for "Roosevelt Bears" was such that ladies carried them everywhere, children were photographed with them, and Roosevelt used one as a mascot in his bid for re-election.[citation needed]
American educator Seymour Eaton wrote the children's book series The Roosevelt Bears,[11] while composer John Bratton wrote "The Teddy Bear Two Step" which, with the addition of Jimmy Kennedy's lyrics, became the song "The Teddy Bears' Picnic".
Early teddy bears were made to look like real bears, with extended snouts and beady eyes. Modern teddy bears tend to have larger eyes and foreheads and smaller noses, babylike features that enhance the toy's cuteness. Teddy bears are also manufactured to represent different species of bear, such as polar bears and grizzly bears, as well as pandas.
While early teddy bears were covered in tawny mohair fur, modern teddy bears are manufactured in a wide variety of commercially available fabrics, most commonly synthetic fur, but also velour, denim, cotton, satin and canvas.


Np: Taken From WIKIPEDIA

 

Kamis, 18 April 2013

Dear My Dream


Sorry...
I know i am an unpretty girl...
But allow me to love you...
Not as ur fans, but as a girl to her crush...


I know it sound riddiculous...
But i am really sorry for not knowing how my heart beats so fast when seeing ur pictures or even just listening to ur voice....






I am sorry...
for letting those feeling came to me....





I am sorry...
for loving you not in the way i should do..





I am really sorry for that...


I AM REALLY SORRY....

Rabu, 10 April 2013

Aku Juga Ingin...



mas tio... hhhhh... entah lah.. belakangan ini dia benar-benar bekerja seperti orang gila. aku juga tidak faham kenapa. tapi hampir semua staff meminta ku untuk membujuk mas tio untuk bekerja lebih 'wajar' seperti biasa. apalagi, tak jarang mas tio juga 'menyetarakan' emosi dalam setiap intonasi lisan dan bahasa tubuh nya. sangat mengherankan, mengingat mas tio bukanlah orang yang suka melampiaskan amarah nya, atau tipe seperti yang saat ini terlihat.

'' kamu tu kebangetan deh, sampai ga tau kenapa mas tio mu itu berubah segitu bahaya nya...padahal semua orang berharap banget kamu bisa menetralkan suasana. anehnya sifat mas tio belakangan ini, bikin yang lain kerja nya ga seru. terutama cewek-cewek di wardrobe. kamu tau lah hampir semua cewek disana penggemar mas tio. ''

mbak loni sedikit menggerutu saat jam makan siang. tapi apa yang harus ku katakan dan ku tolong sementara aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi di diri mas tio. jangan kan untuk mencari tau, mas tio juga seperti sedang menjauhi ku. mama juga bilang, sudah beberapa hari mas tio tidak mampir kerumah.

'' oliiii kamu mending sekarang ke set deh... sumpah... ''

benar saja. sesampai di set untuk syuting iklan terbaru, aku benar-benar di kagetkan dengan suara yang meledak-ledak dari arah mas tio. pria yang selama ini ku kenal penuh dengan kelembutan, berubah menjadi pria yang seperti tidak memiliki perasaan sedikitpun. memaki-maki seorang pria, yang sepertinya aku kenal, yang berdiri tepat didepannya. tatapan pria itu seperti menantang mas tio. sementara yang ditantang membalasnya dengan muka merah dan nafas yang menggebu-gebu. mengkin karena terlalu marah. buakn, tapi memang sedang sangat marah. mas tio berubah menjadi sosok yang tak ku kenal.

'' mas tio yang bikin set kacau gini. si cowok tu diam ajah. tapi emang sih, dari tadi omongan cowok itu bikin emosi. cuma kan... ga biasanya mas tio gini li.. ''

aku memperhatikan sekitar ku. set benar-benar...hancur. ini tidak bisa didiamkan. aku harus berbuat sesuatu. apapun itu. aku harus ngomong sama mas tio. aku pun mendekati 2 pria yang sedang penuh emosi. beberapa mencoba menahan ku. tapi aku terlalu kesal. entah kenapa. entah karena perubahan mas tio, entah karena set yang berantakan, entah lah... yang pasti aku benar - benar tak bisa diam lagi. begitu aku semakin dekat, aku agak sedikit di kagetkan dengan sosok pria tinggi, putih berambut coklat itu. dia adalah kak elang. mantan kekasih kak karin sebelum mas tio. ini semakin membuatku kesal dan merasa aneh karena setau ku mas tio dan kak elang tidak pernah bermasalah. karena mereka bertemu baru 2 kali. dan itu di rumah, saat ulang tahun ibu. hubungan mereka baik-baik saja.

'' kak elang.. mas tio... lebih baik kita keluar ''

aku melunakkan suaraku bermaksud agar hanya mereka yang mendengar. mereka memang mendengar, buktinya mereka menoleh padaku. tapi hanya itu. mereka mengacuhkan ku. aku kembali mengajak mereka keluar. tetap tak ada gubrisan.

'' bisa keluar ga sih... kalian bukan anak kecil yang harus dikasih tau mana yang baik dan ga... disini rame...kalian udah bikin set berantakkan...punya malu dikit kek ''

suaraku meninggi. mereka seperti tersintak. wajare, aku saja juga kaget mendengar kata -kata yang keluar dari mulutku barusan. kasar sekali. tapi untungnya mereka jadi mulai 'menganggap' aku 'ada' diantara mereka saat ini. kak elang yang pertama melangkahkan kaki. diikuti mas tio, lalu aku. otak ku berputar keras. aku benar-benar harus berpikir keras kali ini. aku merasa ini bukan hal yang sepele sehingga membuat keadaan sangat buruk. aku juga merasa, hal ini juga ada kaitannya dengan perubahan mas tio belakangan. karena itulah, aku tidak boleh salah pilih kata atau salah tindak kalau ga ingin keadaan semakin buruk.

di luar ruangan, kak elang seperti hendak meninju mas tio. tangan nya menggepal. dia menoleh kearah ku, lalu melemaskan gepalan tangannya. 

'' kalian apa-apan sih... ada apa... mendadak menjadi orang bodoh seperti ini...''
 aku membuka pembicaraan
'' kamu kenapa ga cerita kalau karin udah meninggal gara-gara bajingan ini ''
'' lu kalau ngomong hati-hati yah''
'' apa-apaan sih....kalian mau berantem... iyah... sini tonjok aku dulu...''

dua pria itu menoleh ke arah ku dengan mimik wajah sangat kaget. 

'' oli kamu jangan asal ngomong ''
'' aku ga asal ngomong kok... selagi aku belum babak belur, ga punya tenaga buat nahan kalian, mending bikin aku babak belur dulu. kalau perlu dibikin mati sekalian ''
'' oli.. kamu jangan kelewatan''
'' mas tio yang kelewatan...beberapa hari ini bertingkah kek orang gila. kak elang juga, dateng dateng langsung bikin keadaan kek gini... ''
'' aku cuma ga rela karin meninggal karena cuma hal sepele li... ''
'' kak elang... itu udah 5 tahun yang lalu... semua udah lupa... kalau kakak ingin menyalahkan mas tio, percuma. mas tio udah menghukum dirinya sendiri selama 5 tahun ini. hukuman nya sudah lebih dari cukup... mas tio juga bodoh... kenapa masih menanggapi masalah ini dengan emosi, sampai semua kena imbas nya...''
'' tapi li... ''
'' kalian benar benar seperti anak kecil...aku disini bukan ingin membela mas tio atau kak elang. kalian berdua memalukan... aku kasihan sama kak karin pernah mencintai kalian... kareena dia benar-benar salah menilai kalian... aku harap kalian jangan pernah kerumah sebelum otak kalian waras. aku ga ingin ibu ikutan gila memikirkan kalian. ''

apa yang aku lakukan.. tadinya aku berniat menjadi penengah tanpa emosi. tapi... bagaimana mungkin aku tidak emosi melihat tingkah mereka yang benar - benar berlebihan.

Selasa, 22 Januari 2013

Love Letter Pak Habibie ( Surat Cinta Sepanjang Masa )


Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,dan kematian adalah sesuatu yang pasti,dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja,
lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada air mata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan,
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
selamat jalan sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
selamat jalan,
calon bidadari surgaku ....


NB :  Cinta itu bukan sesuatu yang harus kamu utarakan.. tapi cinta itu ibarat sebuah adegan yang harus di pertunjukkan agar orang lain bisa faham. Karena perkataan tak selamanya dapat menolong mu....